Senin 14 Jul 2025 21:02 WIB
Rep: alfian/ Red: Edward
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -– Polemik soal dugaan peredaran beras oplosan kembali mencuat setelah pemerintah memeriksa 212 merek beras yang dianggap melanggar ketentuan mutu. Pedagang yang ditemui Republika mengungkapkan akar dari kejadian tersebut.
"Menurut saya kalau saat ini beras oplosan itu kayaknya nggak mungkin. Beras oplosan itu biasanya yang dioplos dengan beras subsidi dari pemerintah. Sementara untuk saat ini pemerintah nggak keluarin beras subsidi. Operasi pasar, SPHP, belum," kata salah satu penjual beras Haryanto (45 tahun) saat ditemui Republika di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, Senin (14/7/2025).
"Itu sebenarnya kerja sudah istilahnya pahit-pahitan ya. Dari istilahnya nurunin kualitas biar bisa harganya nutup," katanya.
Menurutnya sejumlah produsen terpaksa melakukan hal itu karena tidak bisa mengimbangi harga HET beras. Dia katakan, istilah “oplosan” terlalu berlebihan dan menimbulkan kesan negatif, padahal upaya menurunkan mutu dilakukan agar harga jual tetap masuk akal. Ia juga mengatakan hal itu merugikan pedagang karena masyarakat menjadi was-was kendati hingga kini belum ada pengaruh kepada daya beli.
Saat ini, harga gabah kering panen (GKP) disebut sudah menembus Rp 7.000 per kilogram meskipun pemerintah menyebut harga GKP Rp 6.500/kg. Harga itu dianggap sebagai imbas dari kebijakan pemerintah yang menyerap gabah lokal untuk cadangan beras nasional, menggantikan praktik impor di tahun-tahun sebelumnya.
“Yang bikin susah sekarang, kita masih diatur pakai HET (Harga Eceran Tertinggi) lama, tapi biaya produksinya naik terus,” katanya.