Kamis 27 Jan 2011 18:35 WIB

Rep: Agung Sasongko/ Red: Sadly Rachman

Kata Kebohongan Publik dinilai Kurang Layak, kenapa?

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Kebebasan menyatakan pendapat secara tegas diatur dan dilindung UUD 1945. Beberapa waktu lalu, tokoh-tokoh lintas agama  mendesak pemerintah untuk menghentikan segala bentuk kebohongan publik yang melukai hati nurani rakyat. Permasalahan itu menitik beratkan pada persoalan bangsa yang beragam dan sangat kompleks dan harus segera dicarikan jalan keluarnya. Mulai dari soal kemiskinan, pengerusakan lingkungan hingga pelanggaran HAM yang merupakan imbas kebohongan yang dilakukan pemerintah.

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsuddin mengatakan pertemuan tokoh agama dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta Menteri Kabinet Persatuan yang digelar Senin (17/1) malam dinilai positif dan dalam suasana yang hangat. Tetapi, belum mampu menyentuh akar dan subtansi permasalahan.
Din menyayangkan pertemuan tokoh yang digelar oleh SBY tidak sesuai perkiraan. Ada beberapa hal yang membuat Din tidak puas. Pertama, jumlah audiens yang kurang akomodatif dan komunikatif untuk berdialog.

Menyikapi pernyataan tokoh lintas Agama tentang kebohongan pemerintah, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Said Aqil Siradj, sepakat dengan subtansi kritik yang disampaikan tetapi tidak sejalan dengan gaya penyampaian yang digunakan. Sebab, kata kebohongan publik dinilai kurang layak dengan kapasitas sebagai tokoh agama dan ulama.

Ditegaskan Said, penegasan ini tidak berarti NU membela pemerintah. Sikap NU sangat jelas yaitu akan bersama pemerintah selama menjalankan amanat rakyat dan melaksanakan tugas sesuai konstitusi. Mendukung pemerintah bukan berarti koalisi demikian pula dengan mengkritik pemerintah ketika melakukan penyimpangan dianggap sebagai bentuk oposisi.

 

Footage & Courtesy by Youtube/Google