Kamis 31 Mar 2011 19:50 WIB
Rep: Agung Sasongko/ Red: Sadly Rachman
REPUBLIKA.CO.ID,Jakarta - Sangatlah jelas, Tak akan berubah nasib suatu kaum bila tidak adanya keinginan atau usaha untuk melakukan perubahan. Karena itu, perubahan sudah bernilai wajib guna memberikan perbaikan. Lantaran sudah bernilai wajib, sudah sewajarnya bagi setiap individu untuk melakukan perubahan. Nilai wajib perubahan itu sekiranya sangat tepat bagi kondisi Indonesia seperti sekarang. Dimana dalam segala bidang, negeri tercinta tengah didera berbagai “penyakit”. Korupsi kian marak, indeks pembangunan sumber daya jauh tertinggal, adu domba mengatasnamakan agama, dan birokrasi yang tak kunjung memihak wong cilik.
Melihat dari deteksi keparahan penyakit negara tercinta, sudah pasti perubahan yang dilakukan akan mengundang konsekuensi berupa perlunya keberanian menempuh segala resiko dan harus berpikir keluar dari pemikiran konensional yang usang. Sebuah keberanian yang akan menyembuhkan segala penyakit yang mendera, mengembalikan lagi Indonesia menjadi negara yang sehat dan sukses memakmurkan rakyatnya. Karena itu, perlu tokoh yang mampu dan mau melakukan perubahan.
Sejak 2005 Republika selalu memilih tokoh-tokoh yang telah membuat perubahan. Mereka yang terpilih merupakan sosok yang setidaknya sangat dibutuhkan bangsa ini. Mereka dengan segenap kemampuan dari bidang yang digelutinya berusaha untuk memberikan semacam “pencerahan” kepada masyarakat melalui tindakan konkrit yang benar-benar membawa aura positif.
Pada tahun ini, Republika kembali memilih Tokoh Perubahan 2010. Dari sekian banyak calon potensial, akhirnya terjaring tujuh Tokoh Perubahan yang terbaik dari yang terbaik. Mereka itu adalah Asma Nadia, Jusuf Kalla, Joko Widodo, Soelaiman Budi Sunarto, Tuan Guru Zainul, Ustad Fadzlan, , dan Zulkifli Hasan.
Asma Nadia, seorang sastrawan generasi baru yang lahir dari memburuknya budaya membaca dan menulis bangsa ini. Dia merupakan sosok yang kreatif dengan menuangkan segala pemikirannya dalam bentuk tulisan. Dia juga seorang yang inspiratif. Karena itu, bagi Asma Nadia, buku adalah perubahan.
Nama Jusuf Kalla (JK), mungkin tidak lagi tercantum seagai wakil Presiden RI. Meski demikian, perannya sebagai pembawa perubahan tidaklah berhenti. Kini, dia bertugas memimpin Organisasi Palang Merah Indonesia (PMI). Dibawah JK, organisasi itu tidak lagi hanya mengurusi distribusi darah tetapi menjadi garda terdepan dalam pemberian bantuan daerah yang tertimpa bencana.
Apa jadinya, nasib pasar tradisional Solo tanpa sosok bernama Jokowi. Ya, Walikota Solo, Joko Widodo sadar betul kepungan pasar modern bisa mematikan pasar tradisional yang secara turun temurun berdiri. Melalui kebijakan yang kala itu kurang popular dengan melarang pendirian pasar modern dan merelokasi pasar tradisional Jokowi diumpat habis-habisan warga Solo. Namun, kesabarannya membuahkan hasil. Kini, pasar tradisional Solo menjadi nadi perekonomian rakyat yang bisa jadi banyak diabaikan birokrasi tanah air. Jokowi juga mengubah mental pegawai dari dilayani menjadi melayani masyarakat.
Buruknya implementasi pemanfaatan riset bagi kesejahteraan masyarakat desa mengetuk hati seorang Soelaiman Boedi Sunarto, Ketua Koperasi Serba Usaha Agro Makmur. Berkat kerja kerasnya yang gigih 33 penemuan sederhana berhasil dia ciptakan. sebagian besar terkait dengan energi alternatif. Salah satu yang dia giatkan adalah bioetanol dari berbagai bahan, bisa dari tumbuhan,dan bahan lainnya. Budi juga melakukan riset agribisnis dengan temuan berbagai macam pupuk.
Tancap gas, itulah yang dilakukan Tuan Guru Zainul Majdi, gubernur Nusa Tenggara Barat setelah dilantik. Dia seorang gubernur termuda, yakni diusia 36 tahun. Pertumbuhan ekonomi NTB terdongkrak naik dua kali lipat dari pertumbuhan ekonomi nasional.
Tak ada mubalig yang segigih Ustad Fadzlan. Tokoh agama asal Papua ini sudah puluhan tahun malang melintang melakukan dakwah di Papua. Keluar masuk hutan, naik turun gunung, sudah menjadi kerjaan sehari-hari dalam menyebarkan agama Islam di sana. Nyawa pun menjadi taruhan.
Tokoh perubahan terakhir adalah Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Diawal, banyak pihak yang meragukan kemampuannya mengelola hutan Indonesia. Baru kemudian setelah teringat salah satu syarat wukuf (saat berhaji) tidak boleh menebang pohon, muncul ide yang kemudian diterjemahkan dalam kebijakan yakni: menanam. Jadi era Zulkifli ini mengubah yang selama ini menebang pohon menjadi menanam pohon.