Ahad 20 Feb 2011 18:19 WIB
Rep: Agung Sasongko/ Red: Sadly Rachman
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) mengharapkan pemerintah menjamin hak konstitusi pengikut Ahmadiyah termasuk dalam hak dalam memeluk keyakinan yang berbeda dengan mayoritas. JAI juga meminta pemerintah memfasilitasi dialog-dialog yang melibatkan JAI hingga tingkat daerah. Demikian pemaparan Amir Nasional JAI, Abdul Basit saat berbicara dihadapan DPR dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VIII, beberapa waktu lalu.
Basit mengaku selama ini pihaknya secara terbuka mengharapkan adanya dialog terkait kekerasan yang terjadi belakangan ini. Menurut dia, pihaknya tidak pernah diajak untuk berdialog guna menemukan solusi atas benturan yang terjadi. Karena itu, Basit mengharapkan DPR selaku represetasi masyarakat Indonesia untuk memediasi dialog antara Ahmadiyah, pemerintah dan umat Islam.
Ketua Komisi VIII Abdul Kadir Karding mengatakan pihaknya akan mendorong pemerintah untuk mengelar dialog jangka panjang dengan melibatkan Ahmadiyah hingga ke akar rumput. Meski demikian, Karding mengatakan DPR belum bisa memberikan solusi konkrit sebelum ada pengkajian secara mendalam. Kajian itu bisa saja dimulai dengan pembentukan panitia kerja (panja).
Akantetapi Karding menyatakan DPR meminta Ahmadiyah untuk memperhatikan sejumlah pilar kebangsaan yang menjadi titik tola kehidupan berbangsa, bernegara, bersosial, beragaman dan berkeyakinan. DPR juga meminta Ahmadiyah untuk mematuhi Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung. Menurutnya, DPR secara tegas mengutuk kasus kekerasan yang melibatkan agama dan mengharapkan kejadian itu tidak terulang.
Rapat dengar pendapat yang digelar Komisi VIII DPR dengan jajaran pengurus pusat Jemaah Ahmadiyah Indonesia atau JAI berhasil merumuskan sejumlah poin terkait kontroversi Ahmadiyah. Salah satu poinnya, DPR akan mendorong pemerintah untuk menggelar dialog terus-menerus dengan melibatkan pengikut Ahmadiyah hingga ke akar rumput. Rapat dengar pendapat yang digelar hingga pukul 00.00 tersebut juga merumuskan bahwa kekerasan atas nama agama adalah suatu hal yang tidak dapat diterima.