Jumat 26 Nov 2010 00:58 WIB

Rep: Agung Sasongko/ Red: Sadly Rachman

Mencari Posisi Terbaik Ulama Perempuan

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK--Kekuatan pemerintah yang terbatas dalam usaha melindungi hak-hak kaum perempuan, terutama buruh migran sejatinya bisa ditopang dengan keberadaan peran ulama perempuan selaku bagian dari pemimpin umat. Peran itu terwujud melalui kekuatan pengetahuan agama untuk bersikap kritis dan mampu menganalisis setiap persoalan perempuan. Sayangnya, gerak ulama perempuan cenderung terbatas pada wilayah tertentu.

Afwah Muntazah, pimpinan Pondok Pesantren Putri Kempek, Cirebon, Jawa Barat, saat berbicara dalam seminar " Masa Depan Kepemimpinan Ulama Perempuan yang berlangsung di Wisma Hijau, Depok, Jawa Barat, Selasa (23/11) mengatakan Ulama perempuan tidak hanya bisa menjadi rujukan terhadap wacana keagamaan yang kerap ditanyakan kaum perempuan, tetapi juga persoalan sehari-hari semacam rumah tangga, pekerjaan dan masalah lain yang tidak berkaitan dengan persoalan agama.

Afwah menjelaskan tindak kekerasan terhadap perempuan di akar rumput masyarakat yang terjadi selama ini karena disahkan dalil keagamaan, hadist, ayat Alquran dan budaya kultural. Celakanya, aturan itu diperkuat dengan keberadaan fatwa ulama termasuk asaatidzah yang memaknainya secara tekstual.

Afmah menyadari bahwa makna tekstual yang diterapkan turut dipengaruhi sejumlah hal seperti dalil kajian keagamaan yang dijadikan rujukan masih bias gender, pemahaman kebanyakan perempuan awam terbilang rendah ketimbang laki-laki dari sisi kajian kitab kuning, pesantren sebagai lembaga akar rumput tidak bersikap terbuka.

Karena itu, Afwah menilai perlu adanya strategi untuk meniadakan faktor tersebut salah satunya melalui pendekatan dan komunikasi yang ringan dan Islami, semacam al musawah, al adli, al ma'ruh, dan al sakinah. Disamping itu, ulama harus bergerak dalam ibadah sosial yang lebih luas dan aktif. Sebab ibadah sosial memiliki manfaat yang sama besar dengan ibadah mahdoh semata.